Malaysia VS Indonesia, Peace or War ??

    Kondisi perseteruan antara Indonesia dan Malaysia kini semakin memanas, walaupun saat ini bulan Ramadhan, dimana sebagian besar penduduk Indonesia dan Malaysia adalah muslim. Hal ini dipicu beberapa hal yang menjadi ganjalan dan mengundang emosi dari kedua belah pihak dan berlangsung sudah cukup lama, beberapa tahun lalu mulai masalah TKI disiksa, Ambalat hingga penahanan Aparat Indonesia oleh Aparat Malaysia, pun dari Malaysia juga merasa warga Indonesia menginjak injak kehormatan bangsa mereka karena aksi demo yang dianggap sudah diambang batas. Siapa yang diuntungkan oleh konflik yang memanas ini, adakah unsur politisnya? Harian terkenal Malaysia New Strait Times hari ini 30 Agustus 2010 memuat sebuah surat terbuka seorang warga Malaysia untuk Pemerintah dan rakyat Indonesia atas aksi-aksi yang selama ini terjadi di Indonesia. Penulis surat bernama Idzan Ismail, asal Kelana Jaya, Selangor Malaysia. Berikut kutipkan versi alsi dan terjemahnya:    
TOMORROW, we celebrate Merdeka, and the symbol of sovereignty and our pride — the Jalur Gemilang — has been stamped on, burnt and spat at by citizens of our supposedly closest neighbour. Not only did they storm our embassy, they threw faeces into its compound.     
It hurts so bad that Indonesians, whom we regard as Muslim brothers, are doing it in the holy month of Ramadan — in a fortnight we’ll be celebrating Hari Raya Aidilfitri — a month of goodwill and forgiveness. The nationalistic People’s Defence of Democracy (Bendera) is growing bolder by the day. Similar demonstrations were held in Bandar Aceh and Pekanbaru in Sumatra.    
This is the same group which threatened to attack us with sticks and stones last year over our alleged ill-treatment of Indonesian maids. This time it was about our supposed cruelty towards the three Indonesian maritime officers detained by our authorities on Aug 13.     
Bendera is on a “Ganyang Malaysia” rampage, shouting “Malingsia” (Maling is “thief” in Javanese). It even had the audacity to threaten to shave the heads of our people there before deporting them home.    
It’s clear that there are underlying issues that caused them to act with such bravado.     
The group would not have had the gumption to protest outside the Petronas office and CIMB-Niaga Bank there without the tacit approval of some unseen hands.    
Things are beginning to surface, with politicians and members of parliament of both sides of the Indonesian political divide supporting the movement. They are demanding that their government cut all diplomatic and trade ties with us. Their media are fanning the anti-Malaysia sentiment.    
One wonders why the protesters were not tear-gassed for trying to ram our embassy barricade. Some arrests were made but they were all released.     
We have been noble in not retaliating in our country. It’s a wise move because we do not want the backlash of the two million Indonesians, legal and illegal, in our country. But how long can we exercise self-restraint? I fear we being nice is seen as a weakness.    
I worry for the safety of Malaysians there. We must recall our ambassador, embassy staff and evacuate all our students and other Malaysians there. Let them celebrate Hari Raya in peace and calm.     
We must also stop visiting Indonesia for the time being. When things are more peaceful, they can go back to Indonesia.     
The protests are nothing more than an arrogant display of who is bigger and stronger. It may be an empty threat and probably poses no immediate risk to our citizens but our sovereignty and dignity have been compromised.     
Indonesia owes us an apology.  
Terjemahnya :    
“Besok, kita merayakan hari kemerdekaan. Tapi simbol kedaulatan dan kebanggaan kita, Jalur Gemilang; diinjak, dibakar, dan diludahi oleh warga negara yang kita anggap sebagai tetangga terdekat. Mereka bahkan melempar tinja ke kedutaan besar kita.      
Ini sangat menyakitkan, bahwa warga Indonesia–yang adalah saudara muslim kita–melakukannya di bulan suci Ramadhan, jelang umat muslim merayakan Hari Raya Idul Fitri; sebuah hari yang penuh kebaikan dan maaf.     
Massa Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) bahkan makin berani hari ke hari, mereka berdemonstrasi serupa di Banda Aceh dan Pekanbaru.     
Bendera adalah kelompok yang sama yang mengancam untuk menyerang kita dengan tongkat dan batu tahun lalu–ketika tuduhan perilaku buruk kepada pembantu asal Indonesia diarahkan pada kita. Kali ini mereka menggunakan isu penangkapan tiga staf pemerintah oleh aparat Malaysia, 13 Agustus lalu.     
Bendera berteriak-teriak ‘Ganyang Malaysia’ dan ‘Malingsia’. Bahkan mereka mengancam menggunduli warga negara Malaysia sebelum mengirim mereka pulang. Jelas sekali, ada sesuatu yang mendasar yang menyebabkan mereka berani bertindak seperti itu.     Kelompok ini tidak akan punya keberanian untuk mendemo Petronas dan Bank CIMB Niaga tanpa ada persetujuan diam-diam dari beberapa tangan yang tak terlihat.     
Isu juga dipanaskan politisi dan anggota parlemen di Indonesia. Mereka justru mendukung gerakan seperti itu. Mereka bahkan meminta pemerintah memutus hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Malaysia. Sementara media massa Indonesia jadi ‘kipas’, makin memanaskan sentimen anti-Malaysia.     Kita bertanya-tanya, mengapa aparat Indonesia tidak mencegah pengunjuk rasa menyerang kedutaan Malaysia. barikade, atau gas air mata misalnya. Memang ada yang ditangkap, tapi semuanya dilepaskan.     Kita, orang Malaysia, sudah bertindak mulia dengan tidak membalas tindakan itu. Ini langkah bijak karena kita tak ingin ada serangan balik dari 2 juta penduduk Indonesia, legal atau ilegal, yang ada di negara kita. Tapi berapa lama kita harus menahan diri?      Saya takut, kebaikan kita dianggap sebagai kelemahan.     Saya khawatir atas keselamatan orang Malaysia di Indonesia. Kita harus segera memulangkan duta besar, staf kedutaan, dan semua mahasiswa Malaysia di sana. Memberi kesempatan pada mereka merayakan Idul Fitri dengan damai dan tenang.     
Kita juga harus menghentikan kunjungan ke Indonesia saat ini. Nanti, ketika situasi sudah damai kembali, mereka bisa kembali ke Indonesia.    
Aksi protes tidak lebih dari sebuah tampilan arogan yang terus tumbuh besar dan kuat. Ini mungkin hanya ancaman kosong dan mungkin tidak menimbulkan risiko untuk warga negara kita. Tapi, bagaimanapun, kedaulatan dan martabat kita telah diganggu.     
Indonesia berutang kata maaf. "

Lalu apakah selayaknya kita memohon maaf dengan jiwa besar, atau ada pendapat Anda yang lain pada Surat Ini, Sepertinya pemerintah kitapun memegang peran aktif terhadap problematika masalah yang terjadi dimana selama ini pemerintah terkesan lembek serta tidak tegas bersikap, sehingga memicu kemarahan rakyat yang dilampiaskan kepada Malaysia bukan hanya pemerintahnya tapi juga semua unsur yang ada termasuk rakyatnya.
From : kaskus

Pendapat cindy :
Jujur, cindy memang hanya anak kecil,
tapi cindy tau perasaan orang Malaysia,, "Siapa yang nggak marah kalo kehormatannya di injak-injak?"
TAPI dalam kasus ini tidak ada yang bisa di benarkan karena kedua belah pihak memang mempunyai kesalahan..
Dari Malaysia sendiri mereka yang mulai menyulut api mereka mengambil kebudayaan Indonesia..
seperti,
1. Naskah Kuno dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
2. Naskah Kuno dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
3. Naskah Kuno dari Sulawesi Selatan oleh Pemerintah Malaysia
4. Naskah Kuno dari Sulawesi Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
5. Rendang dari Sumatera Barat oleh Oknum WN Malaysia
6. Lagu Rasa Sayang Sayange dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia
7. Tari Reog Ponorogo dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia
8. Lagu Soleram dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
9. Lagu Injit-injit Semut dari Jambi oleh Pemerintah Malaysia
10. Alat Musik Gamelan dari Jawa oleh Pemerintah Malaysia
11. Tari Kuda Lumping dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia
12. Tari Piring dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
13. Lagu Kakak Tua dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia
14. Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
15. Motif Batik Parang dari Yogyakarta oleh Pemerintah Malaysia
16. Badik Tumbuk Lada oleh Pemerintah Malaysia
17. Musik Indang Sungai Garinggiang dari Sumatera Barat oleh Malaysia
18. Kain Ulos oleh Malaysia
19. Alat Musik Angklung oleh Pemerintah Malaysia
20. Lagu Jali-Jali oleh Pemerintah Malaysia
21. Tari Pendet dari Bali oleh Pemerintah Malaysia

Pertanyaan kembali untuk Malaysia "Siapa yang tidak marah kalau kebudayaan asli sebuah negara yang menjadi ciri khas negara tersebut di ambil oleh negara lain ?"
Sebetulnya jika dari kemarin kemarin Malaysia mau mengakui kesalahannya mungkin tidak akan terjadi kasus yang besar seperti ini..
Dan orang Indonesia pertama-tama telah bersabar atas tindakan Malaysia karena Indonesia menganggap negara tersebut sebagai saudara sendiri ..
Tetapi lama - kelamaan makin banyak kebudayaan Indonesia yang diklaim oleh Malaysia..
"Siapa yang gak marah?"
Namun di sisi Indonesia juga terdapat kesalahan yaitu tidak seharusnya terlalu melecehkan Malaysia..
coba bendera Indonesia di bakar, di injak - injak pasti bangsa Indonesia juga akan marah kan??


Oleh karena itu, di sini kedua pihak mempunyai kesalahan...
lebih baik kita saling bermaafan dan sangat diperlukan kesadaran untuk masing-masing negara atas kesalahan mereka
karena hanya itulah jalan yang paling baik untuk saat ini :)

*maaf ini hanya pendapat cindy..
cindy gk bermksd menynggung

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © SoNe :)